Ekoteologi dan Tanggung Jawab Manusia terhadap Bumi

Ekoteologi dan Tanggung Jawab Manusia terhadap Bumi

Bagikan

Table of Contents

Ekoteologi – Bumi tidak pernah berbicara, tetapi selalu bercerita melalui tanda-tanda yang kita abaikan: udara yang kian pengap, tanah yang retak, dan hujan yang tak menentu. Fenomena ini sejatinya merupakan cara alam mengirimkan pesan tentang keseimbangan yang terganggu. Dalam konteks spiritual, kerusakan bumi bukan sekadar masalah ekologi, tetapi juga refleksi dari krisis iman dan makna manusia modern (Tapingku, 2022).

Ekoteologi hadir sebagai jembatan antara spiritualitas dan aksi nyata. Ia mengajarkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya kewajiban sosial, melainkan bagian dari ibadah. Setiap tindakan peduli terhadap alam adalah bentuk zikir dalam tindakan — menghubungkan cinta kepada Tuhan dengan tanggung jawab terhadap ciptaan-Nya (Budiman et al., 2021).


Hakikat Ekoteologi dalam Pandangan Islam

Manusia sebagai Khalifah di Bumi

Dalam ajaran Islam, manusia diberi amanah sebagai khalifah untuk menjaga bumi. Amanah ini bukan sekadar kehormatan, tetapi tanggung jawab besar (Jainuddin, 2023). Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum: 41 bahwa kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh tangan manusia, agar manusia menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar. Artinya, krisis lingkungan adalah peringatan spiritual, bukan sekadar fenomena ilmiah.

Hubungan Iman dan Alam

Menurut Ngabalin (2020), setiap bentuk perusakan lingkungan merupakan tanda lemahnya kesadaran spiritual manusia. Saat manusia hidup dalam keserakahan dan konsumsi berlebih, bumi menanggung akibatnya. Oleh karena itu, ekoteologi mengingatkan kita untuk mengembalikan keseimbangan dengan memandang alam sebagai bagian dari ibadah dan amanah ilahi (Ngabalin, 2020).


Krisis Lingkungan: Seruan untuk Bertobat Ekologis

Kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan bukan semata bencana alam, melainkan konsekuensi dari tangan manusia (Tapingku, 2022). Alam menanggung beban dari keserakahan kolektif — dari penebangan hutan, pencemaran laut, hingga limbah konsumsi berlebihan. Ekoteologi mengingatkan bahwa kerusakan bumi adalah cermin perilaku manusia yang lalai terhadap nilai keadilan ekologis (Budiman et al., 2021).

Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa seluruh makhluk bertasbih kepada Allah (QS. Al-Isra: 44). Ketika manusia merusak alam, sejatinya ia mengganggu harmoni tasbih semesta. Hadis Nabi SAW juga menegaskan bahwa menanam pohon dan memberi makan makhluk hidup adalah sedekah (HR. Bukhari). Maka, menjaga alam adalah bentuk ibadah yang bernilai di sisi Allah.


Dimensi Keadilan dalam Ekoteologi

Krisis lingkungan juga menciptakan ketimpangan sosial. Mereka yang paling banyak mencemari bumi adalah kelompok kaya dengan gaya hidup mewah dan konsumsi tinggi. Namun, yang paling menderita akibatnya adalah kelompok miskin seperti petani, nelayan, dan masyarakat adat (Jainuddin, 2023). Ekoteologi menegaskan bahwa menjaga bumi berarti juga memperjuangkan keadilan bagi sesama manusia.

Baca juga: Doa Sebelum dan Setelah Mengaji agar Ibadah Lebih Bermakna


Tindakan Nyata Menuju Kesadaran Ekologis

Kita tidak harus menjadi aktivis atau ilmuwan untuk menyelamatkan bumi. Langkah kecil seperti mengurangi konsumsi, menggunakan tas belanja sendiri, menanam pohon, mendaur ulang sampah, dan menghemat energi adalah bentuk ibadah ekologis. Setiap tindakan kecil memiliki nilai besar jika dilakukan dengan niat menjaga ciptaan Allah (Ngabalin, 2020).

Selain itu, tempat ibadah dan lembaga pendidikan Islam perlu menjadi teladan dalam praktik ramah lingkungan. Masjid, pesantren, dan sekolah dapat menjadi pusat edukasi ekologis yang menanamkan kesadaran bahwa menjaga bumi adalah bagian dari iman.


Penutup

Bumi tidak sedang marah, tetapi sedang memanggil manusia untuk kembali sadar. Cuaca ekstrem, banjir, dan kekeringan bukan hanya fenomena alam, tetapi pesan agar manusia kembali menjadi penjaga yang amanah. Tanggung jawab ini bukan hanya urusan sains, tetapi juga urusan iman (Budiman et al., 2021).

Menjaga bumi adalah bentuk cinta kepada Sang Pencipta. Setiap langkah kecil dalam melestarikan alam akan menjadi saksi amal saleh kita. Sebab bumi bukan hanya tempat tinggal, tetapi ladang pahala. Untuk mengetahui berita dan inspirasi lain seputar kehidupan spiritual dan sosial, baca berita menarik lainnya di Dayah Athiyah.


Referensi

  • Budiman, S., Rutmana, K., & Takameha, K. K. (2021). Paradigma Berekoteologi Dan Peran Orang Percaya Terhadap Alam Ciptaan: Kajian Ekoteologi. Jurnal Borneo Humaniora, 4(1), 20–28.
  • Jainuddin, N. (2023). Hubungan Antara Alam Dan Manusia Menurut Pandangan Islam. MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis, 3(2), 292–298.
  • Ngabalin, M. (2020). Ekoteologi: Tinjauan Teologi Terhadap Keselamatan Lingkungan Hidup. CARAKA: Jurnal Teologi Biblika Dan Praktika, 1(2), 118–134.
  • Tapingku, J. (2022). Tanggung Jawab Manusia Terhadap Lingkungan Hidup: Kajian Living Teologi. Living Islam: Journal of Islamic Discourses, 5(2), 207–230.

Search

Blog Lainnya

×

Tuliskan yang ingin Anda cari