Pendahuluan
Belajar kitab kuning di era digital menjadi tantangan sekaligus peluang besar bagi santri, guru, dan pesantren. Tradisi kitab kuning sebagai warisan ulama klasik telah menjadi rujukan utama dalam memahami ajaran Islam, fiqh, akhlak, dan tasawuf. Namun, di tengah perkembangan teknologi, metode pembelajaran ini dituntut untuk beradaptasi agar tetap relevan.
Di satu sisi, kitab kuning identik dengan metode talaqqi dan pengajian tradisional di surau atau dayah. Di sisi lain, perkembangan aplikasi islami, e-book, hingga kelas daring membuat santri dapat mengakses kajian kitab kuning dengan lebih mudah. Hal ini membuka ruang diskusi bagaimana menjaga keaslian tradisi tanpa kehilangan manfaat teknologi.
Sejarah dan Pentingnya Kitab Kuning
Kitab kuning adalah sebutan untuk kitab-kitab klasik berbahasa Arab gundul (tanpa harakat) yang dipelajari di pesantren. Kitab ini meliputi berbagai disiplin ilmu, mulai dari fiqh, aqidah, tafsir, hingga tasawuf. Para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Imam Syafi’i, dan Ibnu Hajar menjadi rujukan utama dalam kitab-kitab tersebut (Madjid, 1997).
Al-Qur’an menekankan pentingnya ilmu dengan firman Allah dalam QS. Az-Zumar ayat 9:
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Ayat ini menegaskan keutamaan mencari ilmu, termasuk melalui kitab kuning sebagai warisan ulama. Tradisi ini telah melahirkan banyak tokoh ulama Nusantara yang mampu menghubungkan ajaran Islam klasik dengan kehidupan masyarakat.
Tantangan Belajar Kitab Kuning di Era Digital
Meskipun teknologi membawa kemudahan, ada beberapa tantangan yang dihadapi:
- Kehilangan sanad keilmuan – pembelajaran daring terkadang membuat santri hanya mengandalkan teks tanpa bimbingan langsung guru.
- Distraksi digital – media sosial seringkali mengganggu fokus santri dalam memahami teks klasik.
- Otentisitas teks – tidak semua kitab kuning digital terjamin keaslian dan keakuratan cetakannya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa meskipun metode belajar berubah, tujuan mencari ilmu tetap mulia.
Peluang dan Manfaat Digitalisasi Kitab Kuning
Digitalisasi kitab kuning menghadirkan banyak peluang:
- Akses lebih luas: Santri dari daerah terpencil bisa mengunduh kitab kuning melalui aplikasi.
- Efisiensi belajar: E-book memudahkan pencarian kata atau topik tertentu.
- Kolaborasi global: Kajian kitab kini bisa dilakukan lintas negara melalui kelas online.
- Pelestarian manuskrip: Kitab kuning klasik bisa diarsipkan dalam bentuk digital agar tidak rusak dimakan usia.
Hal ini sejalan dengan QS. Al-Mujadilah ayat 11:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Metode Digital dalam Kajian Kitab Kuning
Beberapa metode yang kini populer dalam pembelajaran kitab kuning:
- E-book dan aplikasi islami seperti Maktabah Syamilah.
- Kelas daring (online) dengan interaksi langsung bersama ustadz.
- Multimedia interaktif seperti video penjelasan kitab fiqh atau akhlak.
- Forum diskusi digital antar-santri untuk memperdalam pemahaman.
Namun, penting untuk tetap menjaga adab belajar. Imam Asy-Syafi’i pernah berkata: “Barangsiapa menginginkan dunia maka wajib baginya berilmu, dan barangsiapa menginginkan akhirat maka wajib baginya berilmu, dan barangsiapa menginginkan keduanya maka wajib baginya berilmu.”
Menjaga Tradisi dalam Modernisasi
Agar tradisi tidak hilang, pesantren dan dayah perlu menyeimbangkan antara teknologi dan metode talaqqi tradisional. Santri tetap harus belajar langsung dengan guru agar sanad keilmuan terjaga. Sementara itu, teknologi digunakan sebagai pelengkap, bukan pengganti.
Internal link: Lihat juga artikel kami tentang https://dayahathiyah.sch.id/pendekatan-pembelajaran-mendalam-solusi-pendidikan/
Outbound link: Untuk bacaan lebih luas tentang kitab klasik, kunjungi NU Online dan Kemenag RI.
Penutup
Belajar kitab kuning di era digital bukan berarti meninggalkan tradisi, tetapi mencari cara agar nilai-nilai Islam tetap terjaga dengan memanfaatkan teknologi. Dengan niat yang benar, kitab kuning akan tetap menjadi cahaya ilmu bagi generasi santri di zaman modern.
Mari terus ikuti berita dan artikel menarik lainnya seputar dunia pendidikan Islam di Dayah Athiyah, agar kita semakin semangat menjaga tradisi dan memanfaatkan teknologi untuk kebaikan.
Referensi
- Madjid, N. (1997). Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Paramadina.
- Muslim, I. (2000). Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Al-Qur’an al-Karim.